Di sebuah bangunan berwarna kuning gading, di gang sempit yang mereka sebut Kenari, dalam ruangan tidak lebar berukuran 4 kali 5 meter, di Ibukota Indonesia. Teronggok seorang gadis, fokusnya terpusat pada sebuah smartphone buatan korea itu.
Posisinya tengkurap dengan bantal guling di bawah lengan dan lehernya, terkadang kepalanya miring ke kanan jika lehernya lelah menopang berat kepala yang sebenarnya tak seberapa.
Jika di zoom, terpampang bahwa gadis itu sedang scroll up down galeri hapenya, mempertontonkan hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun mengelana kesana kemari – kepada otaknya. Banyak cerita yang tersirat dari hasil gambar dan video yang diambil.
Sejatinya gambar-gambar yang diabadikan menyerukan jerit kerinduan yang masih bisa sedikit tertahankan.
“Mari, berkelana kembali”, katanya.
“Tinggalkan kamar berantakan dan sempitmu, jangkrik dan ribuan burung siap bernyanyi untukmu”, imbuhnya.
Sabar, 11 hari lagi – kataku.
Berkali-kali dipatahkan dan mematahkan, salah satu proses pematangan pikiran. Jika tidak pernah patah hati, kau tidak akan se-bersyukur itu ketika merasa dicintai. Terimakasih sudah mematahkan, semoga bahagia. Walaupun bahagiamu bukan bahagiaku karena bahagiamu bersama orang lain, tapi aku masih punya kebahagiaan lain yang pantas diperjuangkan.
Jangan bangga jika viral. Karena viral belum tentu baik dan benar.
Kebanyakan berisi orang2 yang selalu mendewakan kata “tenar”. Melakukan segala cara agar dikenal dan dipuja para warganet brutal. Menggadaikan apapun bahkan harga diri dengan tidak tahu malu mempertontonkan apa yang seharusnya menjadi ranah pribadimu.
Pemersatu bangsa, katamu. Tai kucing! , kataku. Followingmu menunjukan kualitasmu. Dear para wanita, dengarkan baik2 ketika Ibumu memberi petuah agar berpakaian yang layak, akan sedih beliau jika kau mengabaikannya. Tetap jaga adat budaya ketimuran kita, kalau bukan kita generasi muda, siapa lagi.
Perbanyak membaca, perbanyak tanya, perbanyak ilmu, perbanyak ingin tahu. Jika semua pegiat alam pintar, gunung di Indonesia akan bebas dari sampah, dan Edelweis akan benar-benar abadi. Dan jangan lupa, perbanyak senyum ketika bertemu pendaki lain. Contoh nih, pendaki yang ramahnya nggak ketulungan yang punya senyum ramah lingkungan.